26 April 2025 - Dalam dunia perfilman, sejarah kadang berjalan bukan hanya lewat layar, tapi juga lewat ingatan yang berusaha dihidupkan kembali. Itulah yang menjadi semangat dari ELKAKA (Layar Klasik Kemang) #3 yang kembali digelar oleh komunitas @komunitas_kpfij, kali ini menghadirkan film langka dan nyaris hilang dari khazanah sinema Indonesia: Turang karya Bachtiar Siagian. Digelar pada 26 dan 27 April 2025 di Metro Cinema Kemang, program ini menjadi ruang penting untuk tidak hanya menonton film, tetapi juga merayakan jejak sineas yang pernah dibungkam oleh sejarah.
(Dok. Tangkapan Layar) Instagram.com/komunitas_kpfij
Turang adalah film yang dibalut semangat perjuangan kemerdekaan, mengambil latar dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Film ini bukan hanya sekadar drama perjuangan, melainkan juga karya yang pernah meraih penghargaan tertinggi di dunia perfilman nasional sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 1960. Lebih dari itu, Turang sempat menjadi bagian dari berbagai festival film internasional, mengharumkan nama Indonesia di panggung global. Namun, ironi sejarah mencatat bahwa nama sang sutradara, Bachtiar Siagian, kemudian dihapus dari ranah sinema nasional akibat tekanan politik pada rezim yang berkuasa kala itu.
Nama Bachtiar Siagian sempat menjadi momok bagi otoritas. Di separuh akhir kariernya, ia harus menyamarkan identitas demi tetap bisa berkarya. Bahkan, di kemudian hari, seluruh arsip karya-karyanya dilenyapkan dari catatan resmi perfilman Indonesia. Sebuah penghilangan yang tidak hanya merugikan pribadi, tetapi juga mengaburkan catatan sejarah sinema Indonesia. Namun, keberadaan komunitas film yang giat menelusuri, merawat, dan merayakan warisan sinema menjadi penentu bahwa ingatan tak akan sepenuhnya mati.
Kabar menggembirakan datang dari sang putri Bachtiar, @bungasiagian, yang mengumumkan penemuan kembali satu kopi Turang di pusat arsip sebuah negara bekas blok timur. Penemuan ini membawa harapan baru bagi upaya rekonstruksi sejarah sinema Indonesia, dan tentu menjadi momen penting untuk menghadirkan kembali karya yang sempat hilang dari peredaran selama puluhan tahun. Inisiatif ini menunjukkan bahwa film bukan hanya produk artistik, tapi juga artefak sejarah yang bisa menjembatani generasi masa lalu dan kini.
ELKAKA menjadi wadah yang ideal untuk menyambut kembalinya Turang. Program yang secara rutin menghadirkan film-film klasik Indonesia ini dibangun oleh semangat kolektif para pecinta sinema dan pelaku komunitas yang ingin menjaga warisan sinematik bangsa. Ruang ini bukan hanya tempat menonton, tapi juga forum interaksi, diskusi, dan pertemuan antar generasi. Penonton yang datang ke ELKAKA bukan sekadar mencari hiburan, melainkan turut membangun ekosistem apresiasi film yang berbasis kesadaran sejarah dan budaya.
(Dok. Tangkapan Layar) x.com/metrocinema_
Kegiatan pemutaran film Turang tidak hanya menjadi ajang nostalgia, tetapi juga momen belajar bersama tentang bagaimana politik, kekuasaan, dan budaya berkelindan dalam proses kreatif sebuah film. Melalui diskusi yang mengiringi pemutaran film, penonton diajak untuk memahami konteks sejarah produksi Turang, serta bagaimana perjalanan Bachtiar Siagian sebagai sosok yang sempat dikecualikan dari sejarah resmi. Komunitas-komunitas film seperti KPFIJ menjadi penghubung penting antara karya-karya masa lalu dan generasi penonton masa kini.
Antusiasme terhadap acara ini sangat tinggi. Tempat terbatas dan atmosfer yang hangat membuat ELKAKA terasa seperti ruang tamu kolektif bagi mereka yang mencintai sinema Indonesia. Penonton tidak hanya disuguhkan tontonan berkualitas, tetapi juga pengalaman menonton yang intim dan penuh makna. Diskusi informal selepas pemutaran film sering kali menjadi ajang tukar pikiran antara generasi muda dan penonton senior, menghadirkan refleksi yang tak kalah penting dari film itu sendiri.
Dalam era digital yang serba cepat, komunitas film seperti KPFIJ menunjukkan bahwa pengalaman sinematik tidak melulu harus megah dan komersial. Kesederhanaan dan kedekatan menjadi nilai utama dalam menciptakan ruang apresiasi yang hidup dan berkelanjutan. Lebih dari itu, semangat untuk mencari, menyelamatkan, dan memutarkan kembali film-film lama menjadi bentuk nyata dari perlawanan terhadap penghilangan sejarah. Apa yang dilakukan oleh KPFIJ lewat ELKAKA bukan sekadar pemutaran film, melainkan kerja kebudayaan yang mendalam dan penuh dedikasi.
Penemuan kembali Turang dan pemutarannya di ruang komunitas menandai fase baru dalam pembacaan sejarah film Indonesia. Film ini, dengan segala konteks politik dan sosialnya, menjadi pengingat bahwa karya seni bisa dibungkam, namun tidak bisa sepenuhnya dihapus. Dengan kolaborasi antara arsip, keluarga sineas, dan komunitas penonton, ingatan kolektif tentang Turang kini hidup kembali.
Melalui ELKAKA dan kegiatan seperti ini, kita diajak untuk menyadari bahwa menonton film bukan hanya tentang menikmati cerita di layar, tetapi juga tentang memahami konteks, menggali sejarah, dan merawat identitas bersama. Dari satu film yang kembali pulang setelah bertahun-tahun menghilang, kita belajar bahwa sinema tidak hanya membentuk cara pandang, tapi juga menjaga agar masa lalu tak lekang dari ingatan. Dan di tengah komunitas yang tumbuh dari cinta terhadap film, cerita-cerita seperti Turang akan selalu menemukan jalan pulang.
Kehadiran Turang dalam program ELKAKA #3 juga membuka ruang dialog yang lebih luas tentang pentingnya restorasi dan pelestarian arsip film di Indonesia. Selama ini, banyak karya sineas terdahulu yang terancam hilang karena kurangnya perhatian terhadap pengarsipan film secara profesional dan berkelanjutan. Momentum ini diharapkan bisa mendorong institusi budaya, komunitas film, hingga pemerintah untuk lebih serius dalam merancang sistem arsip nasional yang mampu merawat sejarah sinema secara utuh dan inklusif, agar warisan sinematik seperti Turang tidak kembali tenggelam dalam senyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar