Minggu, 18 Mei 2025

"The Queen of Malacca" dan Kiprah Global Sinema Asia Tenggara

May 25 - Angga Dwimas Sasongko kembali mencuri perhatian industri film internasional dengan proyek terbarunya yang berjudul Ratu Malaka (The Queen of Malacca). Film bergenre crime-action thriller ini secara resmi diumumkan dalam ajang bergengsi Cannes Film Market 2025, menandai langkah ambisius sang sutradara dalam menampilkan kekayaan budaya Asia Tenggara di panggung global. Dikenal lewat karya-karya sebelumnya seperti Mencuri Raden Saleh dan 13 Bom di Jakarta, Angga kini mempersembahkan cerita epik yang tidak hanya menyuguhkan ketegangan aksi, tetapi juga menyelami kedalaman mitologi dan struktur kekuasaan khas kawasan ini.


(Dok. Tangkapan Layar) Instagram.com/visinemaid

Ratu Malaka (The Queen of Malacca) menjanjikan pengalaman sinematik yang berbeda dengan menyatukan dunia kejahatan bawah tanah yang keras dengan unsur mistisisme yang kental. “In a world where criminal empires are built on blood, fear, and ancient prophecy—one woman dares to rewrite fate,” menjadi kalimat kunci dari film ini, menyiratkan kekuatan karakter utama perempuan yang akan memimpin narasi penuh darah dan ramalan kuno. Dengan pendekatan visual dan naratif yang unik, film ini membangun dunia di mana ritual hutan, warlord perempuan, dan nabi jalanan berbaur dalam satu ruang cerita.

Dalam wawancara singkat di Cannes, Angga menyebutkan bahwa Ratu Malaka (The Queen of Malacca) adalah perpaduan antara Peaky Blinders dan The Wailing, dua referensi besar yang menegaskan ambisi film ini sebagai karya lintas genre.

 “Ini The Godfather meets The Wailing—tempat di mana warisan spiritual dan politik dunia kejahatan bertabrakan,” ungkapnya. 

Penonton akan dibawa ke dalam semesta yang tidak hanya brutal, tetapi juga sarat makna simbolik dan kultural, memperlihatkan bagaimana kekuatan perempuan bisa menjadi pusat dari revolusi paling berbahaya.

Bagi Angga, Ratu Malaka (The Queen of Malacca) bukan sekadar proyek film, tetapi juga strategi kreatif untuk membangun personal branding sebagai storyteller yang berakar pada budaya lokal namun memiliki jangkauan global. Ia secara konsisten membawa elemen khas Indonesia ke dalam karya-karyanya, namun mengemasnya dalam standar produksi dan narasi yang mampu bersaing di pasar internasional. Dengan keikutsertaan di Cannes Film Market, Angga menunjukkan pentingnya positioning dalam jejaring global dan bagaimana kekayaan lokal dapat menjadi nilai jual yang kuat dalam industri film dunia.

Langkah Angga ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembuat film muda di Indonesia untuk berani mengeksplorasi identitas kultural mereka dan mengolahnya dalam bahasa sinema yang universal. Ratu Malaka (The Queen of Malacca) menandai bahwa film bukan hanya media hiburan, tapi juga medan diplomasi budaya dan strategi personal branding yang kuat. Dalam dunia yang semakin kompetitif, orisinalitas menjadi senjata utama—dan Angga sekali lagi membuktikan bahwa visi lokal bisa menjadi amunisi global yang tak tertandingi.

Angga Dwimas Sasongko menegaskan bahwa  Ratu Malaka (The Queen of Malacca) bukan sekadar film aksi biasa, melainkan sebuah karya yang mencoba mengangkat kekayaan budaya dan cerita rakyat Asia Tenggara ke panggung dunia. Dengan menggabungkan elemen-elemen mistik yang sarat makna dengan kisah kekerasan dunia bawah tanah, film ini berusaha menunjukkan sisi lain dari budaya lokal yang selama ini jarang terekspos dalam perfilman internasional. Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan pengalaman sinematik yang berbeda dan mendalam bagi penonton, sekaligus membuka dialog tentang identitas budaya yang kompleks dan dinamis.

Proses pengembangan Ratu Malaka (The Queen of Malacca) juga melibatkan riset intensif terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat di Asia Tenggara, yang menjadi fondasi cerita sekaligus karakter utama dalam film ini. Angga Dwimas Sasongko berusaha menyeimbangkan unsur hiburan dengan kedalaman narasi sehingga film ini tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga kuat dalam penyampaian pesan dan emosi. Dengan kehadiran karakter perempuan kuat sebagai tokoh sentral, Ratu Malaka (The Queen of Malacca)diharapkan dapat memperkaya representasi gender dalam film aksi sekaligus memperluas wawasan penonton tentang dinamika kekuasaan dan spiritualitas di kawasan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Festival Sinema Australia-Indonesia 2025: Merayakan Satu Dekade Kolaborasi Sinematik

May 2025 - Festival Sinema Australia-Indonesia (FSAI) 2025 resmi dimulai pada 16 Mei dan akan berlangsung hingga 14 Juni mendatang. Memasuki...